Rabu, 06 Desember 2017

Pantulan Wajah Ibu di Jendela Bus

Sewaktu aku masih kecil, aku ingat. Kala itu musim hujan. Tanah basah dan bau hujan semerbak ke seluruh jalanan. Aku seperti biasa. Dilarang main air hujan. Mungkin itu salah satu penyebab kenapa aku suka hujan. Ada hasrat si aku kecil yang belum terpenuhi sampai hari ini yaitu bermain hujan dengan bebas. Si mbok, pengasuh yang sudah seperti keluargaku, selalu melarang aku bermain hujan.

Selasa, 07 Februari 2017

Tiba-Tiba Hujan Hanya Sebentar Saja

Malam ini, tanpa mendung, menjelang mau tidur tiba-tiba turun hujan. Sebentar saja. Aku juga rasanya enggan menunda-nunda tidur. Meskipun nyatanya aku lebih suka tidur dikala hujan turun. Sejuk. Tapi entah. Meski hujan hanya sebentar mampir membasahi jalanan, rasanya aku ingin buru-buru tidur. Tidak biasanya bukan?

Kemarin, tetangga dekatku tiba-tiba meninggal. Ya, serba tiba-tiba seperti hujan saat ini. Tanpa sakit, tanpa keluhan, tiba-tiba saja Allah memanggilnya untuk pulang. Innalillahi wa innalillahi rajiun. Tepat didepan rumahku pula. Dari atas teras rumah aku lihat beliau terbujur didepan pintu rumah tetanggaku yang lain. Astagfirullah... Aku tak ingin mengingat kejadian itu. Tidak lagi. Aku menulis juga bukan untuk membahasnya. Tapi sebelumnya, mari baca Al Fatihah untuk beliau. 

Kematian memang seperti itu. Menakutkan untuk diingat. Justru dengan tidak mengingatnya pun, ia akan tetap datang. Tanpa mengetuk pintu layaknya tamu. Bagai bayangan yang selalu mengikuti. Sadar atau tidak. Sebenarnya aku benar-benar tak ingin membahas kematian ditengah malam begini. Tapi entah, lagi-lagi tiba-tiba.

Satu per satu, orang yang aku kenal dan sayangi menemui Allah. Begitu cintanya Allah pada mereka. Dari Mas Biyan, Mas Brili, Mboke, Pak Man, Mbah Putri, dan lainnya, dan yang baru saja pergi adalah Budhe Gendut (aku menyebutnya begitu). Ya, orang-orang terdekat. Aku pernah mendengar dari sebuah ceramah kalau sebenarnya teman terdekat manusia adalah kematian. Ya, benar sekali. Pada akhirnya manusia hanya meninggalkan atau ditinggalkan. Tidak ada yang benar-benar tinggal. Tinggal menetap itu hanya setelah kematian. Sedangkan masa saat itu tiba, tidak ada yang tahu pasti. Apakah benar atau tidak? Entahlah. Meskipun dalam Al Qur'an sudah jelas mengatakan kehidupan kekal hanyalah di akherat. Hanya saja yang tidak aku ketahui adalah apakah ketika kekekalan itu ada bersamaaku, aku akan sendiri atau tetap bersama orang yang aku kasihi? 

Lalu apa gunanya hidup kekal kalau kita tidak bahagia? Padahal menurutku, definisi bahagia adalah bersama orang yang aku sayangi.

Aku cuma bilang, "Kita bisa apa?" Babeku menjawab,"Semua kehendak Allah, bahkan daun jatuh pun atas seizin Allah". Jika benar begitu. Bolehkah aku meminta pada Allah? Setidaknya jika suatu saat nanti aku bersama kekekalan itu, aku tak mau sendiri. Bosan rasanya bermain-main dengan sendiri. Muak. Setidaknya izinkan aku bersama Ibuku. Ya, aku benar-benar menyayangi. Manusia terpaling apapun di dunia. Itupun jika aku di surga. Jika aku ke neraka, jangan bawa-bawa Ibuku. Kalimat "aku ingin dia bahagia" itu tidak bullshit. Asalkan dia berarti Ibuku.

Tak ada yang tahu kapan kematian itu menyapa manusia. Tiba-tiba saja. Seperti hujan malam ini. Bedanya, tidak hanya sebentar. Kekal. Waktu yang sangat lama. Bahkan mungkin selamanya? Kalaupun hujan itu kekal, itu tak bisa lagi disebut "sejuk". Itu petaka. Karena semua orang akan keluar dengan mantel-mantel yang ribet seperti zombi. Semua akan mengendarai kendaraan dengan tergesa-gesa tanpa menghiraukan sekitar, lalu sambil memainkan klakson terus-menerus seperti kewajiban untuk menuruti permintaan anak-anak kecil di pinggir jalan yang berkata, "Om tololet om". Kaum minoritas yang hidup di jalanan tanpa selimut akan mati kesakitan terserang flu atau masuk angin. Dan aku? Aku akan semakin malas bangun tidur. Petaka bukan? 

Maka memang lebih baik sebentar saja. Sebentar bahagia, sebentar sedih. Sebentar hujan, sebentar terang. Sebentar pergi, sebentar pulang. Tapi jika bertemu kematian memang tidak bisa sebentar. Hanya sebentar untuk manusia yang menunggu kapan gilirannya. Kan sudah dibilang nama teman terdekat manusia yaitu kematian. Jadi hanya perlu waktu sebentar menunggunya, menunggu untuk kekal bertemu Allah.

Mari aku tuliskan puisi amburadul untukmu. Karena puisi bagus hanya buatan Maestro-maestro. Silakan diskip jika malas membaca.


Tiba-tiba Hujan Hanya Sebentar Saja

Tiba-tiba hujan
Hanya sebentar saja
Seperti rasa sakit akan kepergian tiba-tiba

Dia yang meninggalkan
Atau dia yang ditinggalkan
Sama saja
Lalu?

Hanya sebentar saja
Waktu bukan teman yang baik
Bukan penunggu yang baik, iya kan?
Jadi sebentar saja

Untuk tiba-tiba
Sakit
Tersungkur
Menepi dari ramai

Lalu silakan kembali
Jangan lama-lama
Jangan kekal
Sebentar saja
Iya, hanya sebentar saja

(Inna Ramadani - 070217)



Dari yang ditinggalkan

Rabu, 09 November 2016

Tidak apa-apa untuk merasa (tidak) baik-baik saja

Selamat malam. Musim hujan datang lagi. Hari ini Solo diguyur hujan seharian. Uh, rasanya enggan kemana-mana. Tapi "how can I so lazy?". Entah sudah berapa kali kehujanan. Dasar aku lebih memilih kehujanan daripada menggunakan jas hujan. Biasa love simple. Or I'm just lazy? Haha. Aku hanya berdoa agar tetap sehat saja. Cukup.

Rabu, 28 September 2016

Normal is Boring

Selamat datang September...
Mulai hari ini, aku pakai alamat baru ya. Setelah sekian lama. 

Rabu, 17 Agustus 2016

Rabu, 03 Agustus 2016

Senja itu Tidak Asyik

Hari ini aku akan mulai menulis lagi. Karena sebuah papan bertuliskan “Resolusi 2016” yang salah satunya berisi “Mulailah menulis Lagi, Sayang”. (Please don’t think I’m crazy to call me “Sayang”). Walau tulisan ini sedikit berbau curhat, setidaknya lewat tulisan ini aku bisa bercerita. Bercerita pada jajaran kata untuk menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, hingga paragraf-paragraf itu berubah menjadi sebuah kisah.